Kisah Pilu Bocah Korban Tsunami Mentawai
Jum'at, 12 November 2010 - 14:38 wib
PADANG - Raut wajahnya masih kusam meski sudah 19 hari bencana tsunami di Mentawai berlalu. Kejadian itu tak akan terlupakan dan akan menjadi kenangan pahit selamanya. Inilah yang dialami Alexius (13), bocah dari Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan, Mentawai Sumatera Barat.
Sorotan matanya tajam tapi tubuhnya tampak masih lemas sambil terbaring di RSUP Dr M Djamil Padang. Kaki kiri di bagian bawah lutut patah akibat diterjang tsunami dan hanya dibalut kain warna merah. Saat okezone bertandang ke ruang bedah rumah sakit itu, dia langsung memanggil-manggil.
Alexius ini bersama ibunya Juharni (30), di atas tempat tidur rumah sakit yang sepreinya tidak diganti-ganti sejak masuk rumah sakit ini. Dengan jelas dia menceritakan bagaimana bisa selamat setelah bersama orang tua tercinta dan penduduk lainnya diterjang tsunami pada malam hari.
“Jam 21.00 WIB, kami pulang ke rumah setelah nonton di rumah tetangga. Saat kami mau tidur mendadak ada gempa bumi. Ibu, bapak, kakak, saya, dan ketiga adik saya ke luar rumah. Setelah tenang, kami pun masuk kembali,” tuturnya, Jumat (12/11/2010).
Namun setelah mereka kembali ke rumah, tiba-tiba terdengar suara gemuruh disertai teriakan warga sekitar. “Tsunami, tsunami..,” katanya.
Ayahnya bernama Juharni (40) dan ibunya memboyong mereka ke daerah yang lebih tinggi. Sayang, daerah mereka sudah terlebih dahulu dikelilingi air laut. Kepanikan pun semakin menyelimuti keluarga itu.
“Kami tidak bisa menyeberang sungai karena air tsunami itu terlebih dahulu masuk dan mengepung kami. Kami pun lari menuju gereja bersama ratusan orang lain. Jarak gereja dengan bibir pantai hanya 100 meter. Suara gemuruh itu semakin lama semakin dekat. Semua warga yang ada di gereja berdoa,” kenangnya.
Dari jendela bagian kanan Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM) Maonai ini, gulungan ombak menerjang. Jendela yang telah dikunci hancur dihantam ombak. “Air masuk dengan kuat, saya melihat Ibu bersama tiga adek saya Randi (9), Dayanti (10), dan Bastian Kepin (2) terhantam gelombang dan mereka terseret,” katanya.
Setelah dari samping kanan gereja air masuk, kemudian dari pintu gerbang gereja datang air dengan gelombang lebih tinggi dari sebelumnya. “Gereja tempat kami berlindung pun dihantam sampai hancur. Saat itu saya sama Bapak terpisah. Saya digulung gelombang air yang baunya sangat busuk, tidak seperti air laut biasanya,” kata Alexius.
Alex terpental dari tempat duduknya dan digulung gelombang. Dia terus berusaha berenang, tapi tidak bisa karena kaki kirinya terjepit kayu besar. “Saya juga sempat minum air laut beberapa kali. Saya terus bertahan sampai ombak itu pergi. Kondisi saat itu sangat gelap, saya tidak tahu lagi dimana saya berada, yang jelas saat itu posisi saya terjepit kayu besar,” ujarnya.
Meski air belum susut, Alex mendengar suara bapaknya yang terus memanggil namanya. Meski suaranya mulai habis tapi dia berusaha menjawab panggilan itu. “Saya bisa menjawab karena kepala saya bisa melongok ke permukaan air, tak lama bapak datang menolong saya,” katanya.
Air laut tadi sudah mulai surut, ternyata kakinya terjepit tonggak bagunan gereja. Bapaknya mengeluarkan kaki kiri Alex dari jepitan tonggak gereja yang terbuat darikayu. “Bapak saya mengambil saya, kaki kiri saya tidak bisa digerakkan lalu perut saya robek panjang mungkin kena seng,” ceritanya.
Ezilius ayah Alexius menggendongnya dan meletakkan di batang kelapa yang tak jauh dari lokasi. Hari itu hujan dan gelap gulita, banyak orang menangis dan minta tolong.
“Saya tidak bisa melihat orang yang minta tolong dan menangis itu, karena kondisi saat itu malam dan hujan. Bapak mencari Mama bersama adik-adik tapi tak ia temukan. Kemudian saya digendong bapak dan abang Anggi (18) pergi ke bukit,” ujarnya.
Kondisi hujan ditambah tak ada pondok membuat bapaknya harus mendirikan pondok dari daun pisang. Daun pisang itu digigit bapaknya karena pisau dan parang tak ada. Itulah atap mereka dan lantai pun hanya beralas tanah.
“Udara cukup dingin pakaian saya sudah lepas dari badan karena terbawa gelombang,” katanya. Pada pagi hari, Alex akhirnya bertemu dengan ibu dan dua orang adiknya. Sayang, adinya paling bungsu bernama Bastian, hilang diterjang ombak. “Adik saya paling bungsu hilang dan tak ditemukan,” urainya sambil berlinang air mata.
Jum'at, 12 November 2010 - 14:38 wib
PADANG - Raut wajahnya masih kusam meski sudah 19 hari bencana tsunami di Mentawai berlalu. Kejadian itu tak akan terlupakan dan akan menjadi kenangan pahit selamanya. Inilah yang dialami Alexius (13), bocah dari Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan, Mentawai Sumatera Barat.
Sorotan matanya tajam tapi tubuhnya tampak masih lemas sambil terbaring di RSUP Dr M Djamil Padang. Kaki kiri di bagian bawah lutut patah akibat diterjang tsunami dan hanya dibalut kain warna merah. Saat okezone bertandang ke ruang bedah rumah sakit itu, dia langsung memanggil-manggil.
Alexius ini bersama ibunya Juharni (30), di atas tempat tidur rumah sakit yang sepreinya tidak diganti-ganti sejak masuk rumah sakit ini. Dengan jelas dia menceritakan bagaimana bisa selamat setelah bersama orang tua tercinta dan penduduk lainnya diterjang tsunami pada malam hari.
“Jam 21.00 WIB, kami pulang ke rumah setelah nonton di rumah tetangga. Saat kami mau tidur mendadak ada gempa bumi. Ibu, bapak, kakak, saya, dan ketiga adik saya ke luar rumah. Setelah tenang, kami pun masuk kembali,” tuturnya, Jumat (12/11/2010).
Namun setelah mereka kembali ke rumah, tiba-tiba terdengar suara gemuruh disertai teriakan warga sekitar. “Tsunami, tsunami..,” katanya.
Ayahnya bernama Juharni (40) dan ibunya memboyong mereka ke daerah yang lebih tinggi. Sayang, daerah mereka sudah terlebih dahulu dikelilingi air laut. Kepanikan pun semakin menyelimuti keluarga itu.
“Kami tidak bisa menyeberang sungai karena air tsunami itu terlebih dahulu masuk dan mengepung kami. Kami pun lari menuju gereja bersama ratusan orang lain. Jarak gereja dengan bibir pantai hanya 100 meter. Suara gemuruh itu semakin lama semakin dekat. Semua warga yang ada di gereja berdoa,” kenangnya.
Dari jendela bagian kanan Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM) Maonai ini, gulungan ombak menerjang. Jendela yang telah dikunci hancur dihantam ombak. “Air masuk dengan kuat, saya melihat Ibu bersama tiga adek saya Randi (9), Dayanti (10), dan Bastian Kepin (2) terhantam gelombang dan mereka terseret,” katanya.
Setelah dari samping kanan gereja air masuk, kemudian dari pintu gerbang gereja datang air dengan gelombang lebih tinggi dari sebelumnya. “Gereja tempat kami berlindung pun dihantam sampai hancur. Saat itu saya sama Bapak terpisah. Saya digulung gelombang air yang baunya sangat busuk, tidak seperti air laut biasanya,” kata Alexius.
Alex terpental dari tempat duduknya dan digulung gelombang. Dia terus berusaha berenang, tapi tidak bisa karena kaki kirinya terjepit kayu besar. “Saya juga sempat minum air laut beberapa kali. Saya terus bertahan sampai ombak itu pergi. Kondisi saat itu sangat gelap, saya tidak tahu lagi dimana saya berada, yang jelas saat itu posisi saya terjepit kayu besar,” ujarnya.
Meski air belum susut, Alex mendengar suara bapaknya yang terus memanggil namanya. Meski suaranya mulai habis tapi dia berusaha menjawab panggilan itu. “Saya bisa menjawab karena kepala saya bisa melongok ke permukaan air, tak lama bapak datang menolong saya,” katanya.
Air laut tadi sudah mulai surut, ternyata kakinya terjepit tonggak bagunan gereja. Bapaknya mengeluarkan kaki kiri Alex dari jepitan tonggak gereja yang terbuat darikayu. “Bapak saya mengambil saya, kaki kiri saya tidak bisa digerakkan lalu perut saya robek panjang mungkin kena seng,” ceritanya.
Ezilius ayah Alexius menggendongnya dan meletakkan di batang kelapa yang tak jauh dari lokasi. Hari itu hujan dan gelap gulita, banyak orang menangis dan minta tolong.
“Saya tidak bisa melihat orang yang minta tolong dan menangis itu, karena kondisi saat itu malam dan hujan. Bapak mencari Mama bersama adik-adik tapi tak ia temukan. Kemudian saya digendong bapak dan abang Anggi (18) pergi ke bukit,” ujarnya.
Kondisi hujan ditambah tak ada pondok membuat bapaknya harus mendirikan pondok dari daun pisang. Daun pisang itu digigit bapaknya karena pisau dan parang tak ada. Itulah atap mereka dan lantai pun hanya beralas tanah.
“Udara cukup dingin pakaian saya sudah lepas dari badan karena terbawa gelombang,” katanya. Pada pagi hari, Alex akhirnya bertemu dengan ibu dan dua orang adiknya. Sayang, adinya paling bungsu bernama Bastian, hilang diterjang ombak. “Adik saya paling bungsu hilang dan tak ditemukan,” urainya sambil berlinang air mata.
0 komentar:
Post a Comment